Rabu, 05 Agustus 2015

Formalisme


Teori sastra khususnya sejak awal abad ke-20 berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan ini memicu berbagai macam elemen kehidupan yang sendirinya juga sejajar dengan terjadinya kompleksitas kehidupan manusia, yang kemudian memicu perkembangan genre sastra. Kemajuan dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi menopang sarana dan prasarana penelitian yang secara keseluruhan membantu kemudahan dalam proses pelaksanaannya

Sastra menjadi wadah untuk menjelaskan dan mencerminkan apa yang terjadi dalam dunia, mencatat, lalu menjadikannya abadi. Dalam hubungannya, kasta sastra dengan masyarakat, dengan teknologi informasi yang menyertainya, minat masyarakat terhadap manfaat penelitian interdisiplin, memberikan pengaruh terhadap perkembangan teori sastra selanjutnya.

Formalisme menjadi awal dan mendasari lahirnya berbagai teori kesusastraan, dimana yang telah berhasil memasuki hampir seluruh bidang manusia. Ia pun dianggap sebagai salah satu alasan dan dasar dari kemunculan teori modern yang berhasil membawa manusia pada pemahaman secara maksimal.

Secara etimologis, formalisme berasal dari kata forma (latin), yang berarti bentuk atau wujud. Jika dalam ilmu sastra, formalisme merupakan teori yang digunakan untuk menganalisa bentuk dari karya sastra yang meliputi teknik pengucapan—rima, ritma, aquistik, asonansi, aliterasi dan sebagainya. Formalisme mengakui dirinya sebagai teori yang dapat berdiri sendiri (otonom) tanpa melihat dan merasa terbebas dari beberapa unsur seperti konteks budaya, biografi dan sejarah. Secara unsur, formalisme bertujuan untuk mengetahui keterpaduan unsur yang terdapat dalam karya sastra itu sendiri, sehingga mampu menjalin keutuhan bentuk dan isi dengan cara menelisik serta meneliti unsur-unsur kesusastraan, puitika, asosiasi, oposisi & sebagainya.

Gagasan yang mereka usulkan tersebut dianggap radikal karena untuk pertama kalinya dalam sejarah kritik sastra, sastra diperlakukan sebagai disiplin keilmuan yang mandiri dan bukan sekedar batu pijakan untuk membahas gagasan-gagasan yang berkenaan dengan filsafat atau bidang-bidang keilmuan lain. Karena hal itulah, maka para penggagas Formalisme Rusia dianggap sebagai pendiri kritik sastra modern. Namun karena hal itu jugalah mereka menjadi olok-olok para ilmuwan lain yang menentang gagasan mereka. Bahkan istilah ‘Formalisme’ sendiri pada mulanya adalah nama ejekan yang diberikan oleh para penentang itu, yang tentu saja ditolak oleh para penggagasnya karena pendekatan metodologis yang mereka tawarkan sebenarnya tidak formal dan dogmatis seperti yang disangkakan oleh lawan-lawan mereka.

Gagasan para Formalis Rusia banyak dipengaruhi oleh bapak Strukturalisme Ferdinand de Saussure, yang gagasan-gagasannya menjadi acuan mereka dalam merumuskan bidang ilmu baru yang mereka usulkan. Seperti Saussure yang menganjurkan bahwa kajian bahasa harus berpusat pada wujud bahasa itu sendiri, para penganjur Formalisme Rusia juga berkeyakinan bahwa kajian sastra haruslah berpusat pada wujud sastra itu sendiri. Mengkaji karya sastra berarti mengkajipoetika (poetics) nya, yaitu menganalisis bagian-bagian form atau bentuk maujud yang menyusun suatu karya sastra, termasuk di dalamnya mekanika internal dan, khususnya, bahasa puitis yang dipakai di dalam karya itu sendiri.

Mekanika internal inilah (yang disebut juga sebagai perangkat atau devices) yang menurut mereka merupakan bangunan yang menjadikan suatu teks berseni dan memiliki sifat sastra. Setiap perangkat atau fitur komposisi memiliki sifat-sifat tertentu yang dapat dianalisis. Analisis atas perangkat literer dan artistik yang dipakai oleh pengarang untuk menghasilkan sebuah teks inilah yang menjadi dasar bidang ilmu kesusasteraan baru yang mereka usulkan.

Tokoh – tokoh teori formalisme berasal dari Rusia dan menamakan dirinya Opayaz. Tokoh teori formalisme sempat berpengaruh pada tahun sekitar tahun 1914-1930an. Tokoh formalis yang terkenal antara lain

1. Victor Shklovsky
Shklovsky lahir di St. Petersburg (24 Januari 1893 – 6 Desember 1984), Rusia. Ayahnya adalah seorang Yahudi (dengan nenek moyang dari Shklov) dan ibunya adalah seorang Jerman/Rusia asal. Selama Perang Dunia Pertama, ia menawarkan diri untuk Angkatan Darat Rusia dan akhirnya menjadi pelatih mengemudi di unit mobil lapis baja di St. Petersburg. Ada, pada tahun 1916, ia mendirikan OPOYAZ (Obshchestvo izucheniya POeticheskogo YAZyka-Masyarakat untuk Studi Poetic Language), salah satu dari dua kelompok (dengan Moskow Linguistic Circle) yang mengembangkan teori dan teknik Formalisme Rusia kritis.

Shklovsky mengemukakan bahwa sifat kesusastraan muncul sebagai akibat dan pengubahan bahan yang semula bersifat netral. Para pengarang menyulap teks-teks dengan efek mengasingkan dan melepaskannya dari otomatisasi. Proses penyulapan oleh pengarang ini disebut defamiliarisasi, Shklovsky mengatakan “Defamiliarization is found almost everywhere form is found” yakni membuat teks menjadi aneh dan asing, dengan gaya bahasa yang menonjol serta menyimpang dari biasanya. Proses defamiliarisasi mengubah pandangan kita terhadap dunia, Dengan teknik penyikapan secara rahasia, pembaca dapat meneliti dan memahami sarana-sarana (bahasa) yang digunakan pengarang.

Teknik yang dimaksud misalnya menunda, menyisipi, memperlambat, memperpanjang, atau mengulur-ulur kisah sehingga menarik perhatian sebab tidak dapat menanggapi secara otomatis.

2. Boris Eichenbaum
Boris Mikhailovich Eikhenbaum, atau Eichenbaum (Rusia: Борис Михайлович Эйхенбаум; 16 Oktober 1886 - November 2, 1959) adalah seorang sarjana sastra Rusia dan Soviet, dan sejarawan sastra Rusia. Dia adalah wakil dari formalisme Rusia. Eichenbaum memberi penegasan, kaum formalis dipersatukan oleh adanya gagasan untuk membebaskan diksi puitik dari kekangan intelektualisme dan moralisme yang diperjuangakan dan menjadi obsesi kaum simbolis. Ia berusaha untuk menyanggah prinsip estetika subjektif yang didukung para kaum-kaum simbolis (yang bersandar pada teori-teorinya)

3. Roman Jakobson
Roman Jakobson Osipovich (Rusia: Роман Осипович Якобсон; 11 Oktober 1896-18 Juli 1982) adalah seorang ahli bahasa Rusia-Amerika dan teori sastra. Jakobson merupakan salah satu ahli bahasa terbesar abad ke-20. Ia lahir di Rusia dan merupakan anggota dari sekolah formalis Rusia sedini 1915. Jakobson diajarkan di Cekoslovakia antara dua perang dunia, di mana, bersama dengan N. Trubetzkoy, ia adalah salah satu pemimpin yang berpengaruh di lingkaran linguistics Praha (Prague Linguistic Circle). Ketika Cekoslovakia diserbu oleh Nazi, ia terpaksa melarikan diri ke Skandinavia, dan pergi dari sana ke Amerika Serikat pada tahun 1941. Dari 1942-1946 Jakobson mengajar di École des Hautes Etudes Libre di New York City, di mana ia bekerja sama dengan Claude Levi-Strauss.


Sumber ; 
https://miftah19.wordpress.com/2010/07/13/linguistik-dan-bahasa-puitik-roman-jakobson/
(Buku teori kesusatraan dari Thierry Engelton, serta hasil diskusi di pojok-pojok kampus)

Senin, 03 Agustus 2015

Victor Shklovsky (Tokoh Formalisme)

Victor Shlkovsky
Shklovsky lahir di St. Petersburg (24 Januari 1893 – 6 Desember 1984), Rusia. Ayahnya adalah seorang Yahudi (dengan nenek moyang dari Shklov) dan ibunya adalah seorang Jerman/Rusia asal.

Selama Perang Dunia Pertama, ia menawarkan diri untuk Angkatan Darat Rusia dan akhirnya menjadi pelatih mengemudi di unit mobil lapis baja di St. Petersburg. Ada, pada tahun 1916, ia mendirikan OPOYAZ (Obshchestvo izucheniya POeticheskogo YAZyka-Masyarakat untuk Studi Poetic Language), salah satu dari dua kelompok (dengan Moskow Linguistic Circle) yang mengembangkan teori dan teknik Formalisme Rusia kritis.

Shklovsky mengemukakan bahwa sifat kesusastraan muncul sebagai akibat dan pengubahan bahan yang semula bersifat netral. Para pengarang menyulap teks-teks dengan efek mengasingkan dan melepaskannya dari otomatisasi. Proses penyulapan oleh pengarang ini disebut defamiliarisasi, Shklovsky mengatakan “Defamiliarization is found almost everywhere form is found” yakni membuat teks menjadi aneh dan asing, dengan gaya bahasa yang menonjol serta menyimpang dari biasanya. Proses defamiliarisasi mengubah pandangan kita terhadap dunia, Dengan teknik penyikapan secara rahasia, pembaca dapat meneliti dan memahami sarana-sarana (bahasa) yang digunakan pengarang.

Teknik yang dimaksud misalnya menunda, menyisipi, memperlambat, memperpanjang, atau mengulur-ulur kisah sehingga menarik perhatian sebab tidak dapat menanggapi secara otomatis.


Sumber ; Berbagai macam referensi buku, artikel, essai serta hasil diskusi di pojok-pojok kampus

Minggu, 02 Agustus 2015

Sosiologi Sastra


Sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problematika kehidupan. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Sosiologi dapat diartikan sebagai ilmu  atau pengetahuan yang sistematis tentang kehidupan (individu-kelompok) manusia dalam hubungannya dengan manusia lainnya (kelompok-individu) yang secara umum disebut masyarakat. Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertitik tolak dengan orientasi kepada pengarang.

Abrams via internet (1981 :178) mengatakan sosiologi sastra dihubungkan kepada tulisan-tulisan para kritikus dan ahli sejarah sastra yang  utamanya ditujukan pada cara-cara seseorang pengarang yang dipengaruhi oleh status kelas (tingkatan), ideologi masyarakat, keadaan-keadaan ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaannya, dan jenis pembaca yang dialamatkan. Kesemuanya itu terangkum dalam aspek yang membangun sebuah cipta sastra, salah satu aspek yang membangun keutuhan sebuah cerita adalah menyangkut perwatakan tokoh-tokohnya.

Ciri-ciri perwatakan seorang tokoh selalu berkaitan dengan pengarang dan lingkungan di mana ia hidup. Demikian juga menyangkut tipe orang atau tokohnya. Biasanya dalam setiap cerita selalu terdapat beberapa tokoh, dalam hal inilah pengetahuan sosiologi berperan  mengungkapkan isi sebuah karya sastra, baik yang menyangkut isi cerita atau diluar karya sastra (ekstrinsik).

Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya.

Sosiologi sastra berkembang dengan pesat sejak penelitian-penelitian dengan memanfaatkan  teori strukturalisme dianggap mengalami kemunduran, stagnasi, bahkan dianggap sebagai involusi. Analisis strukturalisme dianggap mengabaikan relevansi masyarakat yang merupakan asal-usulnya. Rahmat Djoko Pradopo (1993:34) menyatakan bahwa tujuan studi sosiologis dalam kesusastraan adalah untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat. a sastra itu sendiri melainkan hubungan masyarakat dan lingkungannya serta kebudayaan yang menghasilkannya. Atmazaki via Sutri (1990: 7) menyatakan bahwa pendekatan Sosiologi Sastra mempunyai tiga unsur di dalamnya. Unsur-unsur tersebut antara lain sebagai berikut:
1.     
            Konteks sosial pengarang
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengarang dalam menciptakan karya sastra. Faktor-faktor tersebut antara lain mata pencaharian, profesi kepegawaian, dan masyarakat lingkungan pengarang.

Sastra sebagai cerminan masyarakat
karya sastra mengungkapkan gejala sosial masyarakat dimana karya itu tercipta dalam sastra akan terkandung nilai moral, politik, pendidikan, dan agama dalam sebuah masyarakat.

Fungsi sastra
Fungsi sastra dalam hal ini adalah nilai seni dengan masyarakat, apakah di antara unsur tersebut ada keterkaitan atau saling berpengaruh.

Sosiologi Sastra Sebagai Pendekatan Sastra
Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra dan dasarnya yang bertindak sebagai gagasan bahwa sastra merupakan cermin zaman. Dalam hal itu tugas sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh yang khayal (fiksi) dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah (realitasnya) yang merupakan asal usulnya.

Pedekatan yang dilakukan terhadap karya  sastra pada dasarnya ada dua, yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik. Unsur-unsur merupakan unsur-unsur dalam (instrinsik) yang diangkat dari isi karya sastra, seperti tema, alur atau plot, perwatakan, gaya bahasa dan penokohan. Sedangkan unsur-unsur ekstrinsik berupa pengaruh dari luar yang terdapat dalam karya sastra itu diantaranya sosiologi, politik, filsafat, antropologi dan lain-lain.

Ilmu-ilmu ini merupakan pendukung dalam pengembangan karya sastra, dengan demikian ilmu-ilmu tersebut erat hubungannya dengan karya sastra. Analisis aspek ekstrinsik karya sastra ialah analisis karya sastra itu sendiri dari segi isinya, dan sepanjang mungkin melihat kaitannya dengan kenyataan-kenyataan dari luar karya sastra itu sendiri.

Pendekatan sosiologis atau pendekatan ekstrinsik biasanya mempermasalahkan sesuatu diseputar sastra dan masyarakat bersifat sempit dan eksternal. Yang dipersoalkan biasanya mengenai hubungan sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial, adat istiadat, dan politik. Dapat dipahami bahwa bilamana seseorang  ingin mengetahui keadaan sosiologis dari suatu masa karya tertentu ditulis, kita memang belum tentu dapat mengenal tata kemasyarakatan yang ada pada waktu itu, tetapi setidak-tidaknya kita dapat mengenal tema mana yang kira-kira dominan pada waktu itu melalui pendekatan sosiologis.

Suatu hal yang perlu dipahami dalam melakukan pendekatan sosiologi ini adalah bahwa walaupun seorang pengarang melukiskan kondisi sosial yang berada di lingkungannya, namun ia belum tentu menyuarakan keinginan masyarakatnya. Dari arti ia tidaklah mewakili  atau menyalurkan keinginan-keinginan kelompok masyarakat tertentu, yang pasti pengarang menyalurkan atau mewakili hati nuraninya sendiri, dan bila ia kebetulan mengucapkan sesuatu yang bergejolak dimasyarakat, hal ini merupakan suatu kebetulan ketajaman batinnya dapat menangkap isyarat-isyarat tersebut.  Dari berbagai pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa analisis sosiologi sastra bertujuan untuk memaparkan dengan cermat fungsi dan keterkaitan antarunsur yang membangun sebuah karya sastra dari aspek kemasyarakatan pengarang, pembaca, dan gejala sosial yang ada.

Model Analisis
Metode penelitian adalah cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran penelitian. Langkah-langkah dalam menganalisis menggunakan metode sosiologi sastra pertama yaitu menganalisis unsur intrinsiknya. Analisis karya sastra dengan pendekatan apapun tidak boleh melupakan analisis unsure intrinsiknya. Setelah dijabarkan unsure-unsur intrinsiknya, dikaitkan permasalahan dengan menggunakan teori sosiologi, misalnya hubungan antar individu, perubahan sosial dan kondisi masyarakat sosial.

Kesimpulan
Sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat Sosiologi sastra berorientasi mimetik, memandang karya sastra sebagai cerminan masyarakat, yang perhatiannya berpusat pada struktur kemasyarakatan dalam karya sastra. Pendekatan sosiologi sastra bertujuan untuk memaparkan dengan cermat fungsi dan keterkaitan antarunsur yang membangun sebuah karya sastra dari aspek kemasyarakatan pengarang, pembaca, dan gejala sosial yang ada.

*Beberapa sumber terkait sosiologi sastra; buku, artikel, hasil diskusi dan penelitian pustaka 



Sabtu, 01 Agustus 2015

Psikoanalisis (Psikologi dan seni)

Psikoanalisis - Pembahasan mengenai relasi antara psikologi dan seni telah memunculkan sebuah disiplin yang disebut psikologi seni (psychology of art). Disiplin ini membahas konsep-konsep psikologi yang bisa diterapkan dalam kesenian yang merupakan sebentuk ilmu terapan (applied science) dari psikologi terhadap bidang seni. Tetapi disiplin ini hanya dibahas di fakultas atau jurusan kesenian, bukan jurusan psikologi. Hal ini analog dengan penerapan psikologi dalam bidang-bidang lainnya seperti pendidikan (melahirkan disiplin psikologi pendidikan), bidang industri (melahirkan psikologi industri), bidang dakwah (melahirkan psikologi dakwah), dan sebagainya.

Didalam bukunya yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, bertajuk Teori Kesusastraan-- Rene Wellek dan Austin Warren menulis bahwa istilah “psikologi sastra” memunyai empat kemungkinan pengertian.Pertama, studi psikologi pengarang sebagai tipe atau pribadi. Kedua, studi proses kreatif. Ketiga, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Keempat, studi tentang dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).

Sastra adalah salah satu bentuk karya seni. Dari empat macam hubungan di atas, hubungan pertama, kedua, dan keempat bisa terjadi pada segala bentuk seni. Yang khas sastra mungkin hanya hubungan ketiga, itu pun sastra yang berupa cerita (prosa dan drama).
 
Sigmund Freud
Di antara berbagai aliran dalam psikologi, psikoanalisis adalah aliran yang paling akrab dengan seni. Sigmund Freud, yang menjadi perintis utama teori psikoanalisis, adalah seorang yang menghargai kebudayaan, menyukai seni, dan gemar membaca sastra sejak muda. Tidak heran kalau kemudian ia menjadikan sastra sebagai medan penelitian sekaligus ilustrasi untuk membuktikan teori-teori yang dikembangkannya. Dalam karya-karya sastra besar, misalnya Oedipus (Sophokles), Hamlet (Shakespeare), dan The Brother Karamazov (Dostoyevsky), Freud menemukan tipe-tipe manusia yang menyerupai dan sesuai dengan pemikirannya.

Konsep Umum Psikoanalisis
Psikoanalisis sendiri pada awalnya adalah sebuah metode psikoterapi untuk menyembuhkan penyakit-penyakit mental dan syaraf, dengan menggunakan teknik tafsir mimpi dan asosiasi bebas. Teori ini kemudian meluas menjadi sebuah teori tentang kepribadian. Konsep-konsep yang terdapat dalam teori kepribadian versi psikoanalisis ini termasuk yang paling banyak dipakai di berbagai bidang, hingga saat ini.

Konsep Freud yang paling mendasar adalah teorinya tentang ketidaksadaran. Pada awalnya, Freud membagi taraf kesadaran manusia menjadi tiga lapis, yakni lapisan unconscious (taksadar), lapisan preconscious (prasadar), dan lapisan conscious (sadar). Di antara tiga lapisan itu, taksadar adalah bagian terbesar yang memengaruhi perilaku manusia. Freud menganalogikannya dengan fenomena gunung es di lautan, di mana bagian paling atas yang tampak di permukaan laut mewakili lapisan sadar. Prasadar adalah bagian yang turun-naik di bawah dan di atas permukaan. Sedangkan bagian terbesar justru yang berada di bawah laut, mewakili taksadar.

Dalam buku-bukunya yang lebih mutakhir, Freud meninggalkan pembagian lapisan kesadaran di atas, dan menggantinya dengan konsep yang lebih teknis. Tetapi basis konsepnya tetap mengenai ketidaksadaran, yaitu bahwa tingkah laku manusia lebih banyak digerakkan oleh aspek-aspek tak sadar dalam dirinya. Pembagian itu dikenal dengan sebutan struktur kepribadian manusia, dan tetap terdiri atas tiga unsur, yaitu id, ego, dan superego.

Id adalah bagian yang sepenuhnya berada dalam ketidaksadaran manusia. Id berisi cadangan energi, insting dan libido yang menjadi penggerak utama tingkah laku manusia. Id menampilkan dorongan-dorongan primitif dan hewani pada manusia, dan bekerja berdasarkan prinsip kesenangan. Ketika kecil, pada manusia yang ada baru id-nya. Oleh karena itu kita melihat bahwa anak kecil selalu ngotot jika menginginkan sesuatu, tidak punya rasa malu, dan selalu mementingkan dirinya sendiri.

Ego berkembang dari id, ketika manusia mulai meninggalkan masa ke kanak-kanakannya, sebagai bentuk respon terhadap realitas atau kenyataan. Ego bersifat sadar dan rasional, keinginan-keinginan id tidak selalu dapat dipenuhi, dan ketika itulah ego memainkan peranan. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas. Misalnya, ketika id dalam diri kita ingin makan yang enak di restoran mahal, tetapi keuangan kita tidak mampu, maka ego tidak bisa memenuhi keinginan itu.

Superego muncul akibat persentuhan dengan manusia lain (aspek sosial). Dalam keluarga, superego ditanamkan oleh orang tua dalam bentuk ajaran moral mengenai baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, salah dan benar dsb. Superego muncul sebagai kontrol terhadap id, terutama jika keinginan id itu tidak sesuai dengan moralitas masyarakat. Superego selalu menginginkan kesempurnaan karena ia bekerja dengan prinsip idealitas.

Penerapan Psikoanalisis dalam Sastra
Penerapan psikoanalisis dalam bidang seni, juga sastra, sudah dimulai oleh Freud sendiri. Karya-karya Sigmund Freud yang menyinggung bidang seni antara lain:

1. L’interpretation des Reves (Interpretasi Mimpi), terbit pertama kali tahun 1899. Ini adalah sebuah buku klasik yang menguraikan tafsir mimpi. Buku ini merupakan landasan teoretis paling mendasar mengenai hubungan antara psikoanalisis dan sastra. Tulisan Freud yang sering dipakai sebagai landasan teoretis adalah Trois Essais sur la Theorie de la Sexualite (Tiga Esai tentang Teori Seksualitas), terbit tahun 1962.

2. Delire et Reves dana la “Gradiva” de Jensen (Delir dan Mimpi dalam “La Gradiva” Karya Jensen. Terbit tahun 1906. Ini adalah karya paling jelas mengenai penerapan teori-teori psikoanalisis dalam karya sastra. Di sini Freud melakukan penelitian pada sebuah cerpen berjudul La Gradiva karya Jensen dan menemukan bahwa kepribadian tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian dalam cerpen itu sangat sesuai dengan teori-teorinya sendiri mengenai kepribadian manusia.

3. La Creation Litteraire et le reve Eveille (Penciptaan Sastra dan Mimpi dengan Mata Terbuka), sebuah esai yang terbit pada tahun 1908. Di sini Freud menemukan kemiripan antara proses penciptaan karya sastra pada sastrawan dengan kesenangan yang diperoleh anak-anak dalam permainan. Menurut Freud, “Penyair bertindak seperti anak-anak yang bermain, dan menciptakan dunia imajiner yang diperlakukannya dengan sangat serius, dalam arti bahwa penyair melengkapinya dengan sejumlah besar pengaruh, seraya tetap membedakannya dengan tegas dari realitas.” (footnote)

4. Un Souvenir d’enfance de Leonardo de Vinci (Kenangan Masa Kanak-kanak Leonardo da Vinci), terbit pada 1910. Di sini Freud menganalisis kepribadian Leonardo da Vinci dari biografi dan karya-karya seninya, termasuk menguraikan rahasia senyuman Monna Lisa. Dalam buku ini pula Freud memerkenalkan sebuah konsep penting yang berpengaruh dalam teori kebudayaan, yaitu konsep sublimasi.

5. Das Unheimliche (Keanehan yang Mencemaskan), terbit tahun 1919. Di sini Freud mengangkat sebuah efek atau kesan yang kerap dirasakan pembaca ketika menikmati karya sastra tertentu yang bersifat tragik atau horor, yaitu perasaan cemas, takut, atau ngeri. Meskipun perasaan yang mencemaskan itu muncul, anehnya pembaca tetap menyenangi dan menikmati karya sastra demikian.

Namun penerapan dan perkembangan teori psikoanalisis dalam bidang sastra secara lebih mendalam dilakukan oleh para ahli sastra, misalnya Charles Mauron dan Max Milner. Charles Mauron, kritikus sastra asal Prancis, mengembangkan suatu metode kritik sastra yang disebutnya psikokritik. Max Milner, seorang sarjana Jerman, telah menyusun buku yang mengelaborasi teori-teori Freud yang berkaitan dengan sastra, berjudul Freud et L’interpretation de la litterature (Freud dan Interpretasi Sastra).

Kesejajaran Pola dalam Mimpi dan Karya Sastra
Mengapa psikoanalisis bisa digunakan untuk menganalisis karya seni, khususnya sastra? Psikonalisis lahir dari penelitian tentang mimpi. Ketika menganalisis mimpi-mimpi pasiennya, Freud menemukan bahwa mimpi bekerja melalui mekanisme atau cara kerja tertentu, dan ternyata mekanisme mimpi itu mirip dengan pola yang terdapat dalam karya sastra.

Mekanisme-mekanisme mimpi berikut analoginya dengan seni adalah

1. Kondensasi

Kondensasi adalah penggabungan atau penumpukan beberapa pikiran tersembunyi ke dalam satu imaji tunggal, atau peleburan beberapa tokoh atau hal-hal yang bersifat umum ke dalam satu gambar atau kata.

Analoginya dengan sastra, misalnya dalam penciptaan tokoh dalam novel. Ketika seorang pengarang menciptakan tokoh, ia mengkondensasi (menggabungkan) raut muka dan sosok dari beberapa orang yang dikenalnya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi seorang tokoh yang ia (penulis) khayali atau fiksi. Begitu juga ketika pengarang itu menciptakan latar tempat, ia menggabungkan beberapa tempat yang ditemuinya dalam realitas ke dalam novel, sehingga menjadi suatu tempat tersendiri yang bersifat fiktif, dan akan sia-sia jika kita mencarinya dalam kenyataan.

2. Pemindahan (displacement)

Pemindahan adalah mimpi yang menonjolkan sesuatu yang sama sekali tidak berhubungan dengan isi mimpi yang harus diwujudkan. Mimpi tersebut merupakan rincian yang tidak berarti dan kadang-kadang bahkan merupakan kebalikan pikiran yang tersembunyi, seakan-akan ingin menghindari mimpi itu bisa ditafsirkan. Pemindahan juga berarti menampilkan gambaran mimpi yang kurang berarti dan menyimpang dari isi mimpi yang pokok. Freud mencontohkan: ia bermimpi tentang seorang wanita yang berusaha mendekatinya, dan wanita itu berseru betapa indah kedua matanya. Konon, wanita itu adalah putri seseorang yang memberi utang pada Freud. Setelah menganalisis mimpinya, Freud sadar bahwa komentar atas kedua matanya mengungkapkan situasi yang terbalik, sebab ayah wanita tersebut bukan orang yang menolong “untuk mata anda yang indah” (ungkapan Jerman untuk mengatakan “menolong tanpa pamrih”). Artinya, Freud merasa dikejar-kejar utang pada ayah wanita tersebut.

Dalam puisi dan retorika ada yang disebut metonimi, yaitu proses penggantian suatu ujaran dengan penanda lain dalam satu arti berdampingan. Misalnya, menyebutkan sebagian sebagai ganti keseluruhan (layar untuk menyebut kapal), atau menyebutkan bahan sebagai ganti benda (sutera untuk menyebut pakaian wanita).

3. Simbolisasi

Simbolisasi adalah mimpi yang muncul dalam bentuk simbol tertentu dalam hubungan analogis. Menurut Freud, setiap objek yang panjang (tongkat, batang pohon, payung, senjata, pisau) mewakili alat kelamin laki-laki. Sedangkan setiap objek yang berbentuk lubang dan lebar (kotak, peti, lemari, penggorengan, gua, perahu) mewakili alat kelamin perempuan.

Simbolisasi dapat disamakan dengan metafora dalam puisi, yaitu mengganti sebuah ujaran dengan penanda lain yang memunyai kemiripan analogi. Misalnya menyebut bunga untuk melambangkan cinta, putih sebagai lambang kesucian, atau penggunaan gaya bahasa lain. Bahasa puisi itu sendiri adalah bahasa yang penuh dengan metafora.

4. Figurasi

Figurasi adalah transformasi pikiran ke dalam gambar. Misalnya ketika di waktu sadar kita menginginkan suatu benda, gambaran benda itu akan muncul dalam mimpi.

Analogi figurasi dalam seni paling jelas tampak dalam seni lukis atau seni rupa yang lain. Tetapi dalam sastra pun banyak terkandung unsur figurasi.


Proses Kreatif Sastra

Psikoanalisis menyimpulkan proses kreatif (proses terciptanya) karya sastra ke dalam dua cara.

1. Sublimasi

Konsep sublimasi terkait dengan konsep ketidaksadaran. Sebagaimana telah diuraikan di atas, dalam lapisan taksadar manusia terdapat id yang selalu menginginkan pemuasan dan kesenangan. Seringkali keinginan id itu bertentangan dengan superego maupun norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, dan karenanya keinginan itu tidak mungkin direalisasikan, kecuali orang tersebut mau dianggap tidak sopan, jahat, cabul, dsb.

Tetapi dorongan-dorongan tersebut tetap harus dipuaskan. Tetapi agar dapat diterima oleh norma masyarakat, dorongan-dorongan itu lalu dialihkan ke dalam bentuk lain yang berbeda sama sekali, misalnya dalam bentuk karya seni, ilmu, atau aktivitas olah raga. Proses pengalihan dorongan id ke dalam bentuk yang dapat diterima masyarakat itu disebut sublimasi.

Menurut Freud, sublimasi inilah yang menjadi akar dari kebudayaan manusia. Dalam sublimasi, terkandung kreativitas atau kemampuan menghasilkan sesuatu yang baru. Puisi, novel, lukisan, teori keilmuan, aktivitas olah raga, pembuatan peralatan teknik, bahkan agama, sebenarnya merupakan bentuk lain dari dorongan-dorongan id yang telah dimodifikasi.

2. Asosiasi

Di samping tafsir mimpi, teknik terapi yang dikembangkan Freud dalam psikoanalisisnya adalah asosiasi bebas (free association). Asosiasi bebas adalah pengungkapan atau pelaporan mengenai hal apapun yang masuk dalam ingatan seseorang yang tengah dianalisis, tanpa menghiraukan betapa hal tersebut akan menyakitkan hati atau memalukan. Dalam situasi terapi, biasanya pasien berada dalam posisi berbaring santai di atas ranjang, dan terapis duduk di sampingnya. Terapis memerintahkan pasien untuk mengucapkan hal apapun yang terlintas dalam pikirannya. Jika pasien agak sulit mengatakan sesuatu, terapis bisa membantu merangsang asosiasi pada pikiran pasien dengan mengucapkan kata-kata tertentu.

Asosiasi bebas, atau “asosiasi” saja, sebenarnya merupakan suatu teknik yang sudah lama dipraktikkan oleh para seniman dan pengarang untuk memeroleh ilham. Ketika proses penulisan dimulai, pengarang yang menggunakan teknik asosiasi akan menuliskan apa saja yang masuk ke dalam pikirannya. Setelah ilhamnya habis, barulah ia memeriksa tulisannya dan mengedit, menambah atau mengurangi, dan menentukan sentuhan akhir. Seringkali dalam melakukan asosiasi ini, pengarang mengingat-ingat segala kejadian yang pernah dialaminya, khususnya kejadian di masa anak-anak, atau memunculkan kembali pikiran-pikiran dan imajinasinya yang paling liar. Itulah dorongan id yang sedang dipanggil kembali.

Pada sebagian pengarang, asosiasi itu dibantu pemunculannya dengan melakukan “ritual” tertentu, atau memilih waktu-waktu dan tempat tertentu, yang khas bagi pengarang itu sehingga ide atau ilhamnya mudah mengalir. Wellek dan Warren memberikan contoh-contoh menarik dari kebiasaan aneh para pengarang. Schiller suka menaruh apel busuk di atas meja kerjanya. Balzac menulis sambil memakai baju biarawan. Marcel Proust dan Mark Twain menulis sambil berbaring di ranjang. Sementara pengarang di negeri kita, misalnya Emha Ainun Najib suka menulis dengan menggunakan kertas warna-warni. Sewaktu di Bloomington, Budi Darma senang berjalan-jalan tak tentu arah dan tujuan, sekadar menikmati pemandangan yang ada di sekelilingnya. Ada pengarang yang lebih terinspirasi kalau menulis di malam hari, ada juga yang lebih suka menulis di pagi hari atau senja hari. Ada yang hanya bisa menulis di tempat sepi, ada juga yang menulis di tempat ramai seperti di kafe. Itu semua bergantung pada kebiasaan pengarang yang bersangkutan.

Itulah di antaranya konsep-konsep psikoanalisis yang dapat dihubungkan dengan seni sastra. Berdasarkan teori Freud, sedikit dapat disimpulkan bahwa sumber ide karya seni adalah id yang berada dalam ketidaksadaran kita, dan sebagian dari kesadaran. Sedangkan proses munculnya ide itu dalam pikiran adalah melalui sublimasi dan asosiasi.

*Sumber ; di dapat dari beberapa sumber terkait (buku, artikel, essai dan diskusi)