Psikoanalisis - Pembahasan mengenai relasi antara psikologi dan
seni telah memunculkan sebuah disiplin yang disebut psikologi seni (psychology
of art). Disiplin ini membahas konsep-konsep psikologi yang bisa diterapkan
dalam kesenian yang merupakan sebentuk ilmu terapan (applied science)
dari psikologi terhadap bidang seni. Tetapi disiplin ini hanya dibahas di
fakultas atau jurusan kesenian, bukan jurusan psikologi. Hal ini analog dengan
penerapan psikologi dalam bidang-bidang lainnya seperti pendidikan (melahirkan
disiplin psikologi pendidikan), bidang industri (melahirkan psikologi
industri), bidang dakwah (melahirkan psikologi dakwah), dan sebagainya.
Didalam bukunya yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia,
bertajuk Teori Kesusastraan-- Rene Wellek dan Austin Warren
menulis bahwa istilah “psikologi sastra” memunyai empat kemungkinan
pengertian.Pertama, studi psikologi pengarang sebagai tipe atau pribadi. Kedua,
studi proses kreatif. Ketiga, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan
pada karya sastra. Keempat, studi tentang dampak sastra pada pembaca (psikologi
pembaca).
Sastra adalah salah satu bentuk karya seni. Dari empat macam
hubungan di atas, hubungan pertama, kedua, dan keempat bisa terjadi pada segala
bentuk seni. Yang khas sastra mungkin hanya hubungan ketiga, itu pun sastra
yang berupa cerita (prosa dan drama).
Di antara berbagai aliran dalam psikologi, psikoanalisis adalah
aliran yang paling akrab dengan seni. Sigmund Freud, yang menjadi perintis
utama teori psikoanalisis, adalah seorang yang menghargai kebudayaan, menyukai
seni, dan gemar membaca sastra sejak muda. Tidak heran kalau kemudian ia
menjadikan sastra sebagai medan penelitian sekaligus ilustrasi untuk
membuktikan teori-teori yang dikembangkannya. Dalam karya-karya sastra besar,
misalnya Oedipus (Sophokles), Hamlet (Shakespeare), dan The Brother Karamazov
(Dostoyevsky), Freud menemukan tipe-tipe manusia yang menyerupai dan sesuai
dengan pemikirannya.
Konsep Umum
Psikoanalisis
Psikoanalisis sendiri pada awalnya adalah sebuah metode
psikoterapi untuk menyembuhkan penyakit-penyakit mental dan syaraf, dengan
menggunakan teknik tafsir mimpi dan asosiasi bebas. Teori ini kemudian meluas
menjadi sebuah teori tentang kepribadian. Konsep-konsep yang terdapat dalam
teori kepribadian versi psikoanalisis ini termasuk yang paling banyak dipakai
di berbagai bidang, hingga saat ini.
Konsep Freud yang paling mendasar adalah teorinya tentang
ketidaksadaran. Pada awalnya, Freud membagi taraf kesadaran manusia menjadi
tiga lapis, yakni lapisan unconscious (taksadar), lapisan preconscious
(prasadar), dan lapisan conscious (sadar). Di antara tiga lapisan itu, taksadar
adalah bagian terbesar yang memengaruhi perilaku manusia. Freud
menganalogikannya dengan fenomena gunung es di lautan, di mana bagian paling
atas yang tampak di permukaan laut mewakili lapisan sadar. Prasadar adalah
bagian yang turun-naik di bawah dan di atas permukaan. Sedangkan bagian
terbesar justru yang berada di bawah laut, mewakili taksadar.
Dalam buku-bukunya yang lebih mutakhir, Freud meninggalkan
pembagian lapisan kesadaran di atas, dan menggantinya dengan konsep yang lebih
teknis. Tetapi basis konsepnya tetap mengenai ketidaksadaran, yaitu bahwa
tingkah laku manusia lebih banyak digerakkan oleh aspek-aspek tak sadar dalam
dirinya. Pembagian itu dikenal dengan sebutan struktur kepribadian manusia, dan
tetap terdiri atas tiga unsur, yaitu id, ego, dan superego.
Id adalah bagian yang sepenuhnya berada dalam ketidaksadaran
manusia. Id berisi cadangan energi, insting dan libido yang menjadi penggerak
utama tingkah laku manusia. Id menampilkan dorongan-dorongan primitif dan
hewani pada manusia, dan bekerja berdasarkan prinsip kesenangan. Ketika kecil,
pada manusia yang ada baru id-nya. Oleh karena itu kita melihat bahwa anak
kecil selalu ngotot jika menginginkan sesuatu, tidak punya rasa malu, dan
selalu mementingkan dirinya sendiri.
Ego berkembang dari id, ketika manusia mulai meninggalkan masa ke
kanak-kanakannya, sebagai bentuk respon terhadap realitas atau kenyataan. Ego
bersifat sadar dan rasional, keinginan-keinginan id tidak selalu dapat
dipenuhi, dan ketika itulah ego memainkan peranan. Ego bekerja berdasarkan
prinsip realitas. Misalnya, ketika id dalam diri kita ingin makan yang enak di
restoran mahal, tetapi keuangan kita tidak mampu, maka ego tidak bisa memenuhi
keinginan itu.
Superego muncul akibat persentuhan dengan manusia lain (aspek
sosial). Dalam keluarga, superego ditanamkan oleh orang tua dalam bentuk ajaran
moral mengenai baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, salah dan benar dsb.
Superego muncul sebagai kontrol terhadap id, terutama jika keinginan id itu
tidak sesuai dengan moralitas masyarakat. Superego selalu menginginkan
kesempurnaan karena ia bekerja dengan prinsip idealitas.
Penerapan Psikoanalisis
dalam Sastra
Penerapan psikoanalisis dalam bidang seni, juga sastra, sudah
dimulai oleh Freud sendiri. Karya-karya Sigmund Freud yang menyinggung bidang
seni antara lain:
1. L’interpretation des Reves (Interpretasi Mimpi), terbit pertama
kali tahun 1899. Ini adalah sebuah buku klasik yang menguraikan tafsir mimpi.
Buku ini merupakan landasan teoretis paling mendasar mengenai hubungan antara
psikoanalisis dan sastra. Tulisan Freud yang sering dipakai sebagai landasan
teoretis adalah Trois Essais sur la Theorie de la Sexualite (Tiga Esai tentang
Teori Seksualitas), terbit tahun 1962.
2. Delire et Reves dana la “Gradiva” de Jensen (Delir dan Mimpi
dalam “La Gradiva” Karya Jensen. Terbit tahun 1906. Ini adalah karya paling
jelas mengenai penerapan teori-teori psikoanalisis dalam karya sastra. Di sini
Freud melakukan penelitian pada sebuah cerpen berjudul La Gradiva karya Jensen
dan menemukan bahwa kepribadian tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian dalam cerpen
itu sangat sesuai dengan teori-teorinya sendiri mengenai kepribadian manusia.
3. La Creation Litteraire et le reve Eveille (Penciptaan Sastra
dan Mimpi dengan Mata Terbuka), sebuah esai yang terbit pada tahun 1908. Di
sini Freud menemukan kemiripan antara proses penciptaan karya sastra pada
sastrawan dengan kesenangan yang diperoleh anak-anak dalam permainan. Menurut
Freud, “Penyair bertindak seperti anak-anak yang bermain, dan menciptakan dunia
imajiner yang diperlakukannya dengan sangat serius, dalam arti bahwa penyair
melengkapinya dengan sejumlah besar pengaruh, seraya tetap membedakannya dengan
tegas dari realitas.” (footnote)
4. Un Souvenir d’enfance de Leonardo de Vinci (Kenangan Masa Kanak-kanak
Leonardo da Vinci), terbit pada 1910. Di sini Freud menganalisis kepribadian
Leonardo da Vinci dari biografi dan karya-karya seninya, termasuk menguraikan
rahasia senyuman Monna Lisa. Dalam buku ini pula Freud memerkenalkan sebuah
konsep penting yang berpengaruh dalam teori kebudayaan, yaitu konsep sublimasi.
5. Das Unheimliche (Keanehan yang Mencemaskan), terbit tahun 1919.
Di sini Freud mengangkat sebuah efek atau kesan yang kerap dirasakan pembaca
ketika menikmati karya sastra tertentu yang bersifat tragik atau horor, yaitu
perasaan cemas, takut, atau ngeri. Meskipun perasaan yang mencemaskan itu
muncul, anehnya pembaca tetap menyenangi dan menikmati karya sastra demikian.
Namun penerapan dan perkembangan teori psikoanalisis dalam bidang
sastra secara lebih mendalam dilakukan oleh para ahli sastra, misalnya Charles
Mauron dan Max Milner. Charles Mauron, kritikus sastra asal Prancis,
mengembangkan suatu metode kritik sastra yang disebutnya psikokritik. Max
Milner, seorang sarjana Jerman, telah menyusun buku yang mengelaborasi
teori-teori Freud yang berkaitan dengan sastra, berjudul Freud et
L’interpretation de la litterature (Freud dan Interpretasi Sastra).
Kesejajaran Pola dalam
Mimpi dan Karya Sastra
Mengapa psikoanalisis bisa digunakan untuk menganalisis karya
seni, khususnya sastra? Psikonalisis lahir dari penelitian tentang mimpi.
Ketika menganalisis mimpi-mimpi pasiennya, Freud menemukan bahwa mimpi bekerja
melalui mekanisme atau cara kerja tertentu, dan ternyata mekanisme mimpi itu
mirip dengan pola yang terdapat dalam karya sastra.
Mekanisme-mekanisme mimpi berikut analoginya dengan seni adalah
1. Kondensasi
Kondensasi adalah penggabungan atau penumpukan beberapa pikiran
tersembunyi ke dalam satu imaji tunggal, atau peleburan beberapa tokoh atau
hal-hal yang bersifat umum ke dalam satu gambar atau kata.
Analoginya dengan sastra, misalnya dalam penciptaan tokoh dalam
novel. Ketika seorang pengarang menciptakan tokoh, ia mengkondensasi
(menggabungkan) raut muka dan sosok dari beberapa orang yang dikenalnya dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi seorang tokoh yang ia (penulis) khayali
atau fiksi. Begitu juga ketika pengarang itu menciptakan latar tempat, ia
menggabungkan beberapa tempat yang ditemuinya dalam realitas ke dalam novel,
sehingga menjadi suatu tempat tersendiri yang bersifat fiktif, dan akan sia-sia
jika kita mencarinya dalam kenyataan.
2. Pemindahan (displacement)
Pemindahan adalah mimpi yang menonjolkan sesuatu yang sama sekali
tidak berhubungan dengan isi mimpi yang harus diwujudkan. Mimpi tersebut
merupakan rincian yang tidak berarti dan kadang-kadang bahkan merupakan
kebalikan pikiran yang tersembunyi, seakan-akan ingin menghindari mimpi itu
bisa ditafsirkan. Pemindahan juga berarti menampilkan gambaran mimpi yang
kurang berarti dan menyimpang dari isi mimpi yang pokok. Freud mencontohkan: ia
bermimpi tentang seorang wanita yang berusaha mendekatinya, dan wanita itu
berseru betapa indah kedua matanya. Konon, wanita itu adalah putri seseorang
yang memberi utang pada Freud. Setelah menganalisis mimpinya, Freud sadar bahwa
komentar atas kedua matanya mengungkapkan situasi yang terbalik, sebab ayah
wanita tersebut bukan orang yang menolong “untuk mata anda yang indah”
(ungkapan Jerman untuk mengatakan “menolong tanpa pamrih”). Artinya, Freud
merasa dikejar-kejar utang pada ayah wanita tersebut.
Dalam puisi dan retorika ada yang disebut metonimi, yaitu proses
penggantian suatu ujaran dengan penanda lain dalam satu arti berdampingan.
Misalnya, menyebutkan sebagian sebagai ganti keseluruhan (layar untuk menyebut
kapal), atau menyebutkan bahan sebagai ganti benda (sutera untuk menyebut
pakaian wanita).
3. Simbolisasi
Simbolisasi adalah mimpi yang muncul dalam bentuk simbol tertentu
dalam hubungan analogis. Menurut Freud, setiap objek yang panjang (tongkat,
batang pohon, payung, senjata, pisau) mewakili alat kelamin laki-laki.
Sedangkan setiap objek yang berbentuk lubang dan lebar (kotak, peti, lemari,
penggorengan, gua, perahu) mewakili alat kelamin perempuan.
Simbolisasi dapat disamakan dengan metafora dalam puisi, yaitu
mengganti sebuah ujaran dengan penanda lain yang memunyai kemiripan analogi.
Misalnya menyebut bunga untuk melambangkan cinta, putih sebagai lambang
kesucian, atau penggunaan gaya bahasa lain. Bahasa puisi itu sendiri adalah
bahasa yang penuh dengan metafora.
4. Figurasi
Figurasi adalah transformasi pikiran ke dalam gambar. Misalnya
ketika di waktu sadar kita menginginkan suatu benda, gambaran benda itu akan
muncul dalam mimpi.
Analogi figurasi dalam seni paling jelas tampak dalam seni lukis
atau seni rupa yang lain. Tetapi dalam sastra pun banyak terkandung unsur
figurasi.
Proses Kreatif Sastra
Psikoanalisis menyimpulkan proses kreatif (proses terciptanya)
karya sastra ke dalam dua cara.
1. Sublimasi
Konsep sublimasi terkait dengan konsep ketidaksadaran. Sebagaimana
telah diuraikan di atas, dalam lapisan taksadar manusia terdapat id yang selalu
menginginkan pemuasan dan kesenangan. Seringkali keinginan id itu bertentangan
dengan superego maupun norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, dan karenanya
keinginan itu tidak mungkin direalisasikan, kecuali orang tersebut mau dianggap
tidak sopan, jahat, cabul, dsb.
Tetapi dorongan-dorongan tersebut tetap harus dipuaskan. Tetapi
agar dapat diterima oleh norma masyarakat, dorongan-dorongan itu lalu dialihkan
ke dalam bentuk lain yang berbeda sama sekali, misalnya dalam bentuk karya
seni, ilmu, atau aktivitas olah raga. Proses pengalihan dorongan id ke dalam
bentuk yang dapat diterima masyarakat itu disebut sublimasi.
Menurut Freud, sublimasi inilah yang menjadi akar dari kebudayaan
manusia. Dalam sublimasi, terkandung kreativitas atau kemampuan menghasilkan
sesuatu yang baru. Puisi, novel, lukisan, teori keilmuan, aktivitas olah raga,
pembuatan peralatan teknik, bahkan agama, sebenarnya merupakan bentuk lain dari
dorongan-dorongan id yang telah dimodifikasi.
2. Asosiasi
Di samping tafsir mimpi, teknik terapi yang dikembangkan Freud
dalam psikoanalisisnya adalah asosiasi bebas (free association). Asosiasi bebas
adalah pengungkapan atau pelaporan mengenai hal apapun yang masuk dalam ingatan
seseorang yang tengah dianalisis, tanpa menghiraukan betapa hal tersebut akan
menyakitkan hati atau memalukan. Dalam situasi terapi, biasanya pasien
berada dalam posisi berbaring santai di atas ranjang, dan terapis duduk di
sampingnya. Terapis memerintahkan pasien untuk mengucapkan hal apapun yang
terlintas dalam pikirannya. Jika pasien agak sulit mengatakan sesuatu, terapis
bisa membantu merangsang asosiasi pada pikiran pasien dengan mengucapkan
kata-kata tertentu.
Asosiasi bebas, atau “asosiasi” saja, sebenarnya merupakan suatu
teknik yang sudah lama dipraktikkan oleh para seniman dan pengarang untuk
memeroleh ilham. Ketika proses penulisan dimulai, pengarang yang menggunakan
teknik asosiasi akan menuliskan apa saja yang masuk ke dalam pikirannya.
Setelah ilhamnya habis, barulah ia memeriksa tulisannya dan mengedit, menambah
atau mengurangi, dan menentukan sentuhan akhir. Seringkali dalam melakukan
asosiasi ini, pengarang mengingat-ingat segala kejadian yang pernah dialaminya,
khususnya kejadian di masa anak-anak, atau memunculkan kembali pikiran-pikiran
dan imajinasinya yang paling liar. Itulah dorongan id yang sedang dipanggil
kembali.
Pada sebagian pengarang, asosiasi itu dibantu pemunculannya dengan
melakukan “ritual” tertentu, atau memilih waktu-waktu dan tempat tertentu, yang
khas bagi pengarang itu sehingga ide atau ilhamnya mudah mengalir. Wellek dan
Warren memberikan contoh-contoh menarik dari kebiasaan aneh para pengarang.
Schiller suka menaruh apel busuk di atas meja kerjanya. Balzac menulis sambil
memakai baju biarawan. Marcel Proust dan Mark Twain menulis sambil berbaring di
ranjang. Sementara pengarang di negeri kita, misalnya Emha Ainun Najib
suka menulis dengan menggunakan kertas warna-warni. Sewaktu di Bloomington,
Budi Darma senang berjalan-jalan tak tentu arah dan tujuan, sekadar menikmati
pemandangan yang ada di sekelilingnya. Ada pengarang yang lebih terinspirasi
kalau menulis di malam hari, ada juga yang lebih suka menulis di pagi hari atau
senja hari. Ada yang hanya bisa menulis di tempat sepi, ada juga yang menulis
di tempat ramai seperti di kafe. Itu semua bergantung pada kebiasaan pengarang
yang bersangkutan.
Itulah di antaranya konsep-konsep psikoanalisis yang dapat
dihubungkan dengan seni sastra. Berdasarkan teori Freud, sedikit dapat
disimpulkan bahwa sumber ide karya seni adalah id yang berada dalam
ketidaksadaran kita, dan sebagian dari kesadaran. Sedangkan proses munculnya
ide itu dalam pikiran adalah melalui sublimasi dan asosiasi.
*Sumber ; di dapat dari beberapa sumber terkait (buku, artikel,
essai dan diskusi)
Nice. Haha.
BalasHapus