Kamis, 10 September 2015

Ulasan buku "Berteman dengan Kematian" karya Sinta Ridwan”

Sinta Ridwan - Berteman dengan Kematian

"Perjalanan hidup adalah sebuah proses dan kematian adalah final. Begitu pula dengan kematian adalah jodoh yang pasti datang untuk mendampingi kita untuk melangkah di kehidupan yang baru—Sinta Ridwan"

Memulai hidup ibarat menunggu "kendaraan" di sebuah halte bernama takdir. Sebuah kendaraan yang telah Tuhan antarkan untuk menjemput kesiapan manusia menghadapi arus lalu lintas dunia, menghantar ke berbagai terminal-terminal yang hendak ia ingin tujuh. Kehidupan memang layaknya kondisi di jalan, terkadang ada yang melanggar dan mentaati aturan lalu lintas. Sebuah awal kehidupan akan selalu menciptakan proses menuju kebahagiaan, ibarat senyum yang tercipta tanpa alasan, beban serta ikatan. Manusia selalu mencari jalan cepat untuk menggapai tujuan hidup yang berlabel cita-cita, setelah itu--hendaklah menunggu kendaraan selanjutnya bernama "mati", tentu dengan harapan dan cara yang sama ketika terlahir memulai hidup, bahagia.

Dalam bukunya, berjudul "berteman dengan kematian", bagaimana seorang Sinta Ridwan (karakter utama dalam novel ialah dirinya sendiri) melukis pengalaman dirinya sendiri ke dalam kanvas berbagai warna yang secara detail menciptakan sebuah kisah yang sungguh inspiratif dan mengharu biru. Berdasarkan kisah nyata dari seorang penulis yang bercita-cita membangun museum naskah kuno nusantara ini, secara bijak menghadapi sebuah kenyataan pahit yang membuat hari-harinya kian terpuruk, terbayang selalu dibenaknya perihal kematian yang terus saja tersenyum dan seakan-akan melambaikan tangan di depan yang hendak menjadi teman selanjutnya, yang menunggu untuk segera memeluk tubuh lupusnya yang kian pilu. Namun, justru berkat kenyataan itu, kehidupan Sinta yang memang berasal dari keluarga broken home mampu menemukan dan memberi makna baru yang lebih pada hidupnya. Ia mengenal berbagai orang yang tulus mengenal dirinya, termasuk bertemu dengan kekasihnya, menanggung biaya kuliahnya sendiri serta adik-adiknya, dan memberikan senyum dan semangat terbaik yang ia punya terhadap orang-orang di sekitarnya, terutama penderita seperti dirinya; bahwa hidup harus tetap dihidupi, sebab pada akhirnya, menghidupi hidup adalah obat sesungguhnya dari setiap makhluk hidup di dunia.

Memaknai kehidupan dengan sebuah keyakinan tentang kematian, Sinta, gadis cantik penderita lupus berjuang terus menerus memaknai hari demi hari menjelang kematian, justru dengan aneh membuat setiap langkahnya menjadi begitu lebih berharga; membuatnya merasa lebih mengerti tentang makna dari sebuah keabadian hidup, indahnya kematian yang justru membuat banyak orang lupa tentang arti kesementaraan. Sebuah kisah berdasarkan kisah nyata yang dialami langsung oleh penulisnya, digarap dengan tangan dan cerita halus, namun menyentuh serta dibingkai dengan bukti-bukti gambar orisinil dari dokumen pribadi penulis membuat novel ini menjadi begitu memiliki nilai lebih, dan tentu istimewa.

Kisahnya dimulai ketika Sinta hendak beranjak menuju usia ke-25, di salah satu kaki gunung di Bandung yang sangat dingin, di mana suhu udara sehari sebelum perayaan api harapan tertiup. Aktifitas alam menjadi salah satu alasan manusia bertindak atas dirinya, termasuk Sinta yang tidak bernafsu untuk makan dikarenakan cuaca yang membuat tubuhnya tak lagi memiliki energi cadangan. Lemas menjadi teman menunggunya saat itu--selain orang-orang yang ia cintai yang ia harapkan datang dan menjadi "tamu" dengan hadiah dalam genggaman hati yang sederhana--sebuah ucapan selamat ulangtahun, tentu dengan senyum yang mengisyaratkan cinta kepada dirinya.

Seorang Sinta menjalani masa-masa kecilnya dengan ketidakbahagiaan. Pun sarat dengan ketidakpahaman tentang makna kehidupan (menurut saya itu sangat wajar dikarenakan masih balita). Faktor kedua orangtua menjadi hal utama yang menciptakan ketidakharmonisan dalam diri Sinta--pekerjaan orangtua serta aktifitas-aktifitas yang layaknya sebuah keluarga bahagia jauh dari harapan Sinta. Ibunya merupakan sosok pekerja keras dan penghasil uang ibarat mesin, dengan kebiasaan "gonta-ganti" pekerjaan. Otak bisnisnya selalu menapaki jalan, walau itu sesempit vagina perawan, akan dilewati untuk satu alasan--mendapatkan uang. Sedangkan, sosok ayah Sinta memiliki tipikan pendiam dan penurut jika istrinya lebih cekatan dan lincah menghasilkan pundi-pundi rupiah. Kebiasaan Ayahnya yang diam dan banyak memendam ini menimbulkan akibat fatal beberapa tahun kemudian. Hal yang sekecil biji salak dan setajam batu kerikil itu menjadi awal mula keretakan hubungan dalam keluarganya.

.....

Berteman dengan kematian Ombak 2011, sebenarnya merupakan segerombolan catatan-catatan kecil harian di blog pribadi Sinta, katanya seperti "curhat" (di halaman 358--salam penutup). Lama kelamaan catatan kecil itu membentuk sebuah kisah yang membuat serius mengabadikannya kedalam sebuah buku berjudul BDK (singkatan). Pada tahun 2009 menjadi tahun ia mengawali, merangkai, membuat kerangka dan menuliskannya kedalam sebuah naskah. Setahun lebih waktu yang ia butuhkan untuk menggabungkan potongan-potongan kecil menjadi sebuah dunia baru yang layak diketahui dunia ini tahu beserta manusianya. Empat bulan pun waktu dibutuhkan untuk memolesnya dengan pijatan-pijatan lembut dari orang-orang terdekatnya; masukan, kritik serta saran, utamanya dari penerbit yang bersedia melahirkan naskahnya menjadi sebuah bentuk buku yang menginspirasi banyak orang, termasuk kaum lupus, dan normal seperti kita.

Kematian tidak selalu tentang kesedihan dan kesepian, ia bisa menjadi alasan perihal mengapa engkau mesti kuabadikan—Wahyu Gandi G

Makassar 2015

0 komentar:

Posting Komentar