"Lipstikmu terlalu
menor nak, nanti kau disangka penjajah kelamin. Bedakmu terlalu putih dik,
sudah begitu, tebal lagi, nanti kau disangka perempuan penunggu duka, makanya
kau lapisi sungai air matamu dengan bedak itu”.
Nampak dari kejauhan, dari tempatku menuntut ilmu di sebuah
Universitas Negeri di Ibu Kota. Saya menyaksikan berbagai fenomena alam dan
manusianya. Saya tak terlalu tertarik terhadap pergerakan alamiah, biarkan saja
mereka bermain. Saya lebih menyukai kepada hal yang bernuasa sosial-masyarakat.
Beberapa buku-buku yang berisikan informasi ketangguhan bangsa Indonesia dalam
merembut tanah pertiwi ini misalnya, sudah kubaca, menjadi pengetahuan yang
layak kubuktikan “sendiri”, dengan mencari makam serta jejak-jejak sejarah yang
masih hidup hingga sekarang ini. Yang menjadi perhatian saya pertama yaitu
muasal dari bendera itu sendiri.
Bagaimana kongkrit yang sebenarnya, penentuan warna merah dan
putih menjadi dua warna identitas bendera Negara Indonesia? Mengapa tidak
menggunakan warna pelangi selepas mendung dan hujan saja, biar tetap dikatakan,
disaksikan dengan sebutan indah. Apalagi, jarang ada manusia yang tak menyukai
pelangi, namun juga jarang manusia mengetahui mengapa bisa pelangi dapat
seperti itu, iyakan? Walau sebenarnya, pelangi tak selamanya indah jika
dipandang. Bagaimana dengan orang buta?
Indonesia, merah darahku, putih tulangku bersatu dalam
semangatku..Ada yang masih ingat lagu itu? Lagu yang sangat identik dengan
Indonesia. Hampir seluruh lirik mencerminkan realitas Indonesia, latar belakang
perjuangan Indonesia mewujudkan kemerdekaan, serta wajah Indonesia dimata
rakyat serta yang pernah dicitakan oleh beberapa tokoh di Indonesia. Sebuah
lagu yang berlabel kenangan dan ada juga yang mengatakan nasional. Ciptaan
seniman/musisi lawas kelahiran Jombang, Gombloh, bernama asli (Soedjarwoto
Soemarsono); kebyar-kebyar (1979).
Lupakan dulu sejenak tentang dunia hiburan, sejenak saja. Saya
mencoba ingin membuat agar Indonesia melihat wajah aslinya selepas bangun
tidur. Sisa-sisa bekas pesta semalam (ada yang narkoba, miras, bikini dsb)
sedikit menjadi kebiasaan buruknya di sebuah hari yang mungkin masih ranum buat
dipetik, apalagi sekedar dicolek. Pertama kali saya melihat Indonesia, kepalaku
langsung mengingatnya saat tubuhku masih bersekolah di sekolah dasar beberapa
tahun silam, simpelnya karena saya masih anak-anak, Indonesia kulihat ketika
mengikuti upacara di lapangan setiap hari senin; berangkat karena saya sering
menjadi pemimpin upacara. Kedua kalinya saya melihat Indonesia, dari seragam
sekolah saya, saat di kelas, diwaktu istirahat (jika malas melakukan sesuatu
seperti membaca, menulis atau menghapal) saya bersama teman-teman bermain
jungkir balik dan berdiri sandar dalam tembok kelas dengan posisi kepala di
bawah-kaki di bagian atas, siapa yang paling lama bertahan, dialah pemenangnya.
Itulah Indonesia.
Awalnya memang terlihat tak cukup baik, saat saya masih tak berani
sedetik pun melihat atau sekedar meratapi hal-hal yang terjadi di surga Negara,
dengan para malaikat berdasinya (katanya penolong rakyat dari gerbang neraka
dunia). Saya mengetahui tak cukup baik dari perbincangan hangat para orangtua
diwaktu yang senggang, minum secangkir teh hangat, di sebuah beranda rumah yang
biasa orang bugis sebut dengan sebutan lego. Saya juga tidak terlalu menyukai
pelajara PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Wajah Negara kita
katanya setiap beberapa tahun selalu berubah dan berkamuflase menjadi bukan
Indonesia. Pura-pura lupa dengan latar belakang perjuangan beberapa tahun
silam, bergerak menjadi bagian dari perilaku-perilaku kapital, harmonisasi
lembaga-lembaga vital sudah sedikit melenceng dari asas-asas yang pernah
dikemukakan tokoh-tokoh perintis kemerdekaan, keadaan ekonomi yang kadang
menjadi “musuh” rakyak sendiri, karakter bangsa (masyarakat) sudah teracuni
berbagai paradigm baru dunia, yang sebenarnya melenceng dari ajaran adat-adat
Indonesia tempo dulu. Dan masih banyak lagi.
Apa kejadian-kejadian ‘rutin’ itu tak membuat Indonesia merasa
‘sakit’ dan merasa ingin dirawat sebuah tempat bersingkatkan RS (Rumah
Sejahtera). Jika Indonesia itu ibarat manusia, saya dapat dengan lihai
mengatakan bahwa Indonesia telah cacat, dan berjalan dengan bantuan kursi roda
(kursi roda itu ibarat Negara-negara yang menjadi dalang dari Indonesia) yang
bahkan hampir menemukan titik kelumpuhannya. Untuk mengendalikan dirinya
sendiri pun rasa-rasanya sulit, tidak heran, merangkak pun bisa jadi opsi
terakhir, walau yang berjalan itu masih tetap memaksa untuk tetap selalu
merangkak.
Apa Indonesia katarak? Mungkin perlu sebuah kacamata, agar dapat
dengan mudah menyaksikan sendiri tubuhnya. Atau, ia (Indonesia) bukan lagi
Indonesia? Sudah jelas ia sakit, tetap saja mengatakan badannya sehat.
Permasalahan kian memperumit masalah yang sudah terlanjur basah
dengan matahari pagi, malam yang dianggap indah sekarang sudah berubah,
menjelma menjadi jahat, hari yang dianggap sebagai semburat aman juga tak kalah
jahatnya, sebagian besar masyarakat sungguh tersiksa dengan kedua waktu itu.
Kemana lagi mesti pergi? Apa harus menanti dini hari, petang atau mungkin
fajar? Kita sudah tahu, ketiga waktu itu sesungguhnya amat sangat singkat untuk
sebuah kehidupan.
Seperti di kehidupan liar yang malam, tempat-tempat yang mengadakan
pendidikan prostitusi yang secara legal. Dunia malam memang cukup menggiurkan
bagi mereka-mereka yang lupa tentang pemenuhan kebutuhan yang semestinya. Kita
dapat melihat, hampir semua pelacur menggunakan pewarna bibir yang dominan
merah. Lalu bedak yang masuk dalam kategori mahal, (Walau sebenarnya tak
menutup kemungkinan itu termasuk kedalam kosmetik racikan yang berbahaya) untuk
mempercantik kewanitaannya, lebih tepatnya memutihkannya. Saya dapat
mengatakannya bahwa, orang-orang yang di sana terkadang merasa bosan bertengger
di surganya dengan segala gelimangan yang bukan sepenuhnya menjadi haknya,
pasti akan selalu mempunyai waktu mengunjungi dunia malam itu. Mereduksi
sedikit dosa yang mereka lakukan di tempat kerjanya, mungkin. Layaknya bibir
yang bercorak merah, sepantasnya dapat lebih mudah buat mencium hal-hal (berbau
munafik), yang tentunya memiliki bekas yang sangat jelas.
Warna merah-putih bendera Indonesia--dengan warna merah lipstik
dan putih dari bedak penjajah kelamin. Warna merah melambangkan keberanian,
putih menyimbolkan sebuah kesucian. Bagaimana bisa kedua hal itu selaras dan
membangun korelasi yang baik jika yang terjadi selalu kontra dengan harapan
rakyat.
Demikian hal yang kian menjadi sorotan publik, memang kita gamang
dengan berita yang sering terjadi di layar kaca. Mereka yang menjelma sebagai
media juga mengemas bahan informasi secara tak sama. Maksudnya, bentuk
penyampaian kepada para pemirsanya di seluruh penjuru Indonesia masih saja
terkesan “politis”. Masalah ini memang dapat dikatakan baru, atau mungkin sudah
lama, hanya karena baru terungkap.
Kesesuaian dari penyikap sebuah studi kasus tentang peran penjajah
kelamin dalam bekerja, memenuhi hidupnya tak jauh berbeda dengan para pelaku
korupsi yang katanya ingin mengindonesiakan Indonesia justru membuatnya semakin
terpuruk. Pelacur ibarat pejabat, dan pelanggannya ibarat rakyat. Jika rakyat
tak pandai-pandai memilah pejabat (pelanggan dalam hal ini memilah pelacur),
maka rakyat itu sendiri yang akan di rugikan. Terlepas mungkin dari ego pribadi
(pelacur/pejabat) itu sendiri.
Makassar 2015