Kamis, 10 September 2015

PMB 2015: Prodi Sastra Inggris Menerima 62 Mahasiswa Baru

Spanduk "Welcome" mahasiwa baru angkatan 2015
Fakultas Bahasa dan Sastra - Himpunan Mahasiswa Program Studi Sastra jurusan Bahasa Inggris FBS UNM kembali kedatangan adik-adik baru di tahun ini. Sedikitnya, total 62 mahasiswa(i) diterima dari tiga jalur PMB 2015 ini, yang masing-masing seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN), seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN) dan jalur mandiri.

Jumlah ini mengalami sedikit pengurangan dari jumlah kuota ditahun sebelumnya. Misalnya saja, ditahun 2014, program studi yang pertama kali menerima mahasiswa di tahun 1997 ini menerima mahasiswa(i) baru sebanyak 70 orang, masing-masing dibagi ke dalam dua kelas berjumlah 35 orang. Bahkan, di tahun 2013 lalu, menerima sebanyak 80 mahasiswa(i), yang dibagi ke dalam dua kelas, masing-masing terdiri dari 40 orang.

Ketua HMPS Prasasti, Andi Syarif Hidayatullah mengatakan "semoga saja di tahun ini, untuk angkatan 2015 khususnya di program studi sastra jurusan bahasa Inggris dapat lebih giat mengikuti berbagai kegiatan-kegiatan akademik yang bertajuk kesusastraan, walaupun hingga sekarang himpunan belum dilantik" tandasnya.

Untuk mahasiswa angkatan 2014 dan 2015 dijadwalkan akan menjalani serangkaian kegiatan, seperti latihan dasar kepemimpinan sebagai salah satu syarat menjadi pengurus dan anggota di lembaga himpunan ini, nantinya. Sambil menunggu koordinasi dengan teman-teman lembaga jurusan dan tentunya fakultas.

"kedepannya, himpunan akan melaksakan berbagai kegiatan-kegiatan yang memprioritaskan akademik, seperti literary corner, Kantin (kajian rutin) sastra; bedah film, novel, cerpen hingga puisi" beber ketua divisi pengkajian dan pengembangan ilmu kesusastraan.

Laporan : Wira & Romo


Lipstik yang Merah, Tanda Kemunafikan?

"Lipstikmu terlalu menor nak, nanti kau disangka penjajah kelamin. Bedakmu terlalu putih dik, sudah begitu, tebal lagi, nanti kau disangka perempuan penunggu duka, makanya kau lapisi sungai air matamu dengan bedak itu”.

Nampak dari kejauhan, dari tempatku menuntut ilmu di sebuah Universitas Negeri di Ibu Kota. Saya menyaksikan berbagai fenomena alam dan manusianya. Saya tak terlalu tertarik terhadap pergerakan alamiah, biarkan saja mereka bermain. Saya lebih menyukai kepada hal yang bernuasa sosial-masyarakat. Beberapa buku-buku yang berisikan informasi ketangguhan bangsa Indonesia dalam merembut tanah pertiwi ini misalnya, sudah kubaca, menjadi pengetahuan yang layak kubuktikan “sendiri”, dengan mencari makam serta jejak-jejak sejarah yang masih hidup hingga sekarang ini. Yang menjadi perhatian saya pertama yaitu muasal dari bendera itu sendiri.

Bagaimana kongkrit yang sebenarnya, penentuan warna merah dan putih menjadi dua warna identitas bendera Negara Indonesia? Mengapa tidak menggunakan warna pelangi selepas mendung dan hujan saja, biar tetap dikatakan, disaksikan dengan sebutan indah. Apalagi, jarang ada manusia yang tak menyukai pelangi, namun juga jarang manusia mengetahui mengapa bisa pelangi dapat seperti itu, iyakan? Walau sebenarnya, pelangi tak selamanya indah jika dipandang. Bagaimana dengan orang buta?

Indonesia, merah darahku, putih tulangku bersatu dalam semangatku..Ada yang masih ingat lagu itu? Lagu yang sangat identik dengan Indonesia. Hampir seluruh lirik mencerminkan realitas Indonesia, latar belakang perjuangan Indonesia mewujudkan kemerdekaan, serta wajah Indonesia dimata rakyat serta yang pernah dicitakan oleh beberapa tokoh di Indonesia. Sebuah lagu yang berlabel kenangan dan ada juga yang mengatakan nasional. Ciptaan seniman/musisi lawas kelahiran Jombang, Gombloh, bernama asli (Soedjarwoto Soemarsono); kebyar-kebyar (1979).

Lupakan dulu sejenak tentang dunia hiburan, sejenak saja. Saya mencoba ingin membuat agar Indonesia melihat wajah aslinya selepas bangun tidur. Sisa-sisa bekas pesta semalam (ada yang narkoba, miras, bikini dsb) sedikit menjadi kebiasaan buruknya di sebuah hari yang mungkin masih ranum buat dipetik, apalagi sekedar dicolek. Pertama kali saya melihat Indonesia, kepalaku langsung mengingatnya saat tubuhku masih bersekolah di sekolah dasar beberapa tahun silam, simpelnya karena saya masih anak-anak, Indonesia kulihat ketika mengikuti upacara di lapangan setiap hari senin; berangkat karena saya sering menjadi pemimpin upacara. Kedua kalinya saya melihat Indonesia, dari seragam sekolah saya, saat di kelas, diwaktu istirahat (jika malas melakukan sesuatu seperti membaca, menulis atau menghapal) saya bersama teman-teman bermain jungkir balik dan berdiri sandar dalam tembok kelas dengan posisi kepala di bawah-kaki di bagian atas, siapa yang paling lama bertahan, dialah pemenangnya. Itulah Indonesia.

Awalnya memang terlihat tak cukup baik, saat saya masih tak berani sedetik pun melihat atau sekedar meratapi hal-hal yang terjadi di surga Negara, dengan para malaikat berdasinya (katanya penolong rakyat dari gerbang neraka dunia). Saya mengetahui tak cukup baik dari perbincangan hangat para orangtua diwaktu yang senggang, minum secangkir teh hangat, di sebuah beranda rumah yang biasa orang bugis sebut dengan sebutan lego. Saya juga tidak terlalu menyukai pelajara PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Wajah Negara kita katanya setiap beberapa tahun selalu berubah dan berkamuflase menjadi bukan Indonesia. Pura-pura lupa dengan latar belakang perjuangan beberapa tahun silam, bergerak menjadi bagian dari perilaku-perilaku kapital, harmonisasi lembaga-lembaga vital sudah sedikit melenceng dari asas-asas yang pernah dikemukakan tokoh-tokoh perintis kemerdekaan, keadaan ekonomi yang kadang menjadi “musuh” rakyak sendiri, karakter bangsa (masyarakat) sudah teracuni berbagai paradigm baru dunia, yang sebenarnya melenceng dari ajaran adat-adat Indonesia tempo dulu. Dan masih banyak lagi.

Apa kejadian-kejadian ‘rutin’ itu tak membuat Indonesia merasa ‘sakit’ dan merasa ingin dirawat sebuah tempat bersingkatkan RS (Rumah Sejahtera). Jika Indonesia itu ibarat manusia, saya dapat dengan lihai mengatakan bahwa Indonesia telah cacat, dan berjalan dengan bantuan kursi roda (kursi roda itu ibarat Negara-negara yang menjadi dalang dari Indonesia) yang bahkan hampir menemukan titik kelumpuhannya. Untuk mengendalikan dirinya sendiri pun rasa-rasanya sulit, tidak heran, merangkak pun bisa jadi opsi terakhir, walau yang berjalan itu masih tetap memaksa untuk tetap selalu merangkak.

Apa Indonesia katarak? Mungkin perlu sebuah kacamata, agar dapat dengan mudah menyaksikan sendiri tubuhnya. Atau, ia (Indonesia) bukan lagi Indonesia? Sudah jelas ia sakit, tetap saja mengatakan badannya sehat.

Permasalahan kian memperumit masalah yang sudah terlanjur basah dengan matahari pagi, malam yang dianggap indah sekarang sudah berubah, menjelma menjadi jahat, hari yang dianggap sebagai semburat aman juga tak kalah jahatnya, sebagian besar masyarakat sungguh tersiksa dengan kedua waktu itu. Kemana lagi mesti pergi? Apa harus menanti dini hari, petang atau mungkin fajar? Kita sudah tahu, ketiga waktu itu sesungguhnya amat sangat singkat untuk sebuah kehidupan.

Seperti di kehidupan liar yang malam, tempat-tempat yang mengadakan pendidikan prostitusi yang secara legal. Dunia malam memang cukup menggiurkan bagi mereka-mereka yang lupa tentang pemenuhan kebutuhan yang semestinya. Kita dapat melihat, hampir semua pelacur menggunakan pewarna bibir yang dominan merah. Lalu bedak yang masuk dalam kategori mahal, (Walau sebenarnya tak menutup kemungkinan itu termasuk kedalam kosmetik racikan yang berbahaya) untuk mempercantik kewanitaannya, lebih tepatnya memutihkannya. Saya dapat mengatakannya bahwa, orang-orang yang di sana terkadang merasa bosan bertengger di surganya dengan segala gelimangan yang bukan sepenuhnya menjadi haknya, pasti akan selalu mempunyai waktu mengunjungi dunia malam itu. Mereduksi sedikit dosa yang mereka lakukan di tempat kerjanya, mungkin. Layaknya bibir yang bercorak merah, sepantasnya dapat lebih mudah buat mencium hal-hal (berbau munafik), yang tentunya memiliki bekas yang sangat jelas.

Warna merah-putih bendera Indonesia--dengan warna merah lipstik dan putih dari bedak penjajah kelamin. Warna merah melambangkan keberanian, putih menyimbolkan sebuah kesucian. Bagaimana bisa kedua hal itu selaras dan membangun korelasi yang baik jika yang terjadi selalu kontra dengan harapan rakyat.

Demikian hal yang kian menjadi sorotan publik, memang kita gamang dengan berita yang sering terjadi di layar kaca. Mereka yang menjelma sebagai media juga mengemas bahan informasi secara tak sama. Maksudnya, bentuk penyampaian kepada para pemirsanya di seluruh penjuru Indonesia masih saja terkesan “politis”. Masalah ini memang dapat dikatakan baru, atau mungkin sudah lama, hanya karena baru terungkap.

Kesesuaian dari penyikap sebuah studi kasus tentang peran penjajah kelamin dalam bekerja, memenuhi hidupnya tak jauh berbeda dengan para pelaku korupsi yang katanya ingin mengindonesiakan Indonesia justru membuatnya semakin terpuruk. Pelacur ibarat pejabat, dan pelanggannya ibarat rakyat. Jika rakyat tak pandai-pandai memilah pejabat (pelanggan dalam hal ini memilah pelacur), maka rakyat itu sendiri yang akan di rugikan. Terlepas mungkin dari ego pribadi (pelacur/pejabat) itu sendiri.

Makassar 2015

Ulasan buku "Berteman dengan Kematian" karya Sinta Ridwan”

Sinta Ridwan - Berteman dengan Kematian

"Perjalanan hidup adalah sebuah proses dan kematian adalah final. Begitu pula dengan kematian adalah jodoh yang pasti datang untuk mendampingi kita untuk melangkah di kehidupan yang baru—Sinta Ridwan"

Memulai hidup ibarat menunggu "kendaraan" di sebuah halte bernama takdir. Sebuah kendaraan yang telah Tuhan antarkan untuk menjemput kesiapan manusia menghadapi arus lalu lintas dunia, menghantar ke berbagai terminal-terminal yang hendak ia ingin tujuh. Kehidupan memang layaknya kondisi di jalan, terkadang ada yang melanggar dan mentaati aturan lalu lintas. Sebuah awal kehidupan akan selalu menciptakan proses menuju kebahagiaan, ibarat senyum yang tercipta tanpa alasan, beban serta ikatan. Manusia selalu mencari jalan cepat untuk menggapai tujuan hidup yang berlabel cita-cita, setelah itu--hendaklah menunggu kendaraan selanjutnya bernama "mati", tentu dengan harapan dan cara yang sama ketika terlahir memulai hidup, bahagia.

Dalam bukunya, berjudul "berteman dengan kematian", bagaimana seorang Sinta Ridwan (karakter utama dalam novel ialah dirinya sendiri) melukis pengalaman dirinya sendiri ke dalam kanvas berbagai warna yang secara detail menciptakan sebuah kisah yang sungguh inspiratif dan mengharu biru. Berdasarkan kisah nyata dari seorang penulis yang bercita-cita membangun museum naskah kuno nusantara ini, secara bijak menghadapi sebuah kenyataan pahit yang membuat hari-harinya kian terpuruk, terbayang selalu dibenaknya perihal kematian yang terus saja tersenyum dan seakan-akan melambaikan tangan di depan yang hendak menjadi teman selanjutnya, yang menunggu untuk segera memeluk tubuh lupusnya yang kian pilu. Namun, justru berkat kenyataan itu, kehidupan Sinta yang memang berasal dari keluarga broken home mampu menemukan dan memberi makna baru yang lebih pada hidupnya. Ia mengenal berbagai orang yang tulus mengenal dirinya, termasuk bertemu dengan kekasihnya, menanggung biaya kuliahnya sendiri serta adik-adiknya, dan memberikan senyum dan semangat terbaik yang ia punya terhadap orang-orang di sekitarnya, terutama penderita seperti dirinya; bahwa hidup harus tetap dihidupi, sebab pada akhirnya, menghidupi hidup adalah obat sesungguhnya dari setiap makhluk hidup di dunia.

Memaknai kehidupan dengan sebuah keyakinan tentang kematian, Sinta, gadis cantik penderita lupus berjuang terus menerus memaknai hari demi hari menjelang kematian, justru dengan aneh membuat setiap langkahnya menjadi begitu lebih berharga; membuatnya merasa lebih mengerti tentang makna dari sebuah keabadian hidup, indahnya kematian yang justru membuat banyak orang lupa tentang arti kesementaraan. Sebuah kisah berdasarkan kisah nyata yang dialami langsung oleh penulisnya, digarap dengan tangan dan cerita halus, namun menyentuh serta dibingkai dengan bukti-bukti gambar orisinil dari dokumen pribadi penulis membuat novel ini menjadi begitu memiliki nilai lebih, dan tentu istimewa.

Kisahnya dimulai ketika Sinta hendak beranjak menuju usia ke-25, di salah satu kaki gunung di Bandung yang sangat dingin, di mana suhu udara sehari sebelum perayaan api harapan tertiup. Aktifitas alam menjadi salah satu alasan manusia bertindak atas dirinya, termasuk Sinta yang tidak bernafsu untuk makan dikarenakan cuaca yang membuat tubuhnya tak lagi memiliki energi cadangan. Lemas menjadi teman menunggunya saat itu--selain orang-orang yang ia cintai yang ia harapkan datang dan menjadi "tamu" dengan hadiah dalam genggaman hati yang sederhana--sebuah ucapan selamat ulangtahun, tentu dengan senyum yang mengisyaratkan cinta kepada dirinya.

Seorang Sinta menjalani masa-masa kecilnya dengan ketidakbahagiaan. Pun sarat dengan ketidakpahaman tentang makna kehidupan (menurut saya itu sangat wajar dikarenakan masih balita). Faktor kedua orangtua menjadi hal utama yang menciptakan ketidakharmonisan dalam diri Sinta--pekerjaan orangtua serta aktifitas-aktifitas yang layaknya sebuah keluarga bahagia jauh dari harapan Sinta. Ibunya merupakan sosok pekerja keras dan penghasil uang ibarat mesin, dengan kebiasaan "gonta-ganti" pekerjaan. Otak bisnisnya selalu menapaki jalan, walau itu sesempit vagina perawan, akan dilewati untuk satu alasan--mendapatkan uang. Sedangkan, sosok ayah Sinta memiliki tipikan pendiam dan penurut jika istrinya lebih cekatan dan lincah menghasilkan pundi-pundi rupiah. Kebiasaan Ayahnya yang diam dan banyak memendam ini menimbulkan akibat fatal beberapa tahun kemudian. Hal yang sekecil biji salak dan setajam batu kerikil itu menjadi awal mula keretakan hubungan dalam keluarganya.

.....

Berteman dengan kematian Ombak 2011, sebenarnya merupakan segerombolan catatan-catatan kecil harian di blog pribadi Sinta, katanya seperti "curhat" (di halaman 358--salam penutup). Lama kelamaan catatan kecil itu membentuk sebuah kisah yang membuat serius mengabadikannya kedalam sebuah buku berjudul BDK (singkatan). Pada tahun 2009 menjadi tahun ia mengawali, merangkai, membuat kerangka dan menuliskannya kedalam sebuah naskah. Setahun lebih waktu yang ia butuhkan untuk menggabungkan potongan-potongan kecil menjadi sebuah dunia baru yang layak diketahui dunia ini tahu beserta manusianya. Empat bulan pun waktu dibutuhkan untuk memolesnya dengan pijatan-pijatan lembut dari orang-orang terdekatnya; masukan, kritik serta saran, utamanya dari penerbit yang bersedia melahirkan naskahnya menjadi sebuah bentuk buku yang menginspirasi banyak orang, termasuk kaum lupus, dan normal seperti kita.

Kematian tidak selalu tentang kesedihan dan kesepian, ia bisa menjadi alasan perihal mengapa engkau mesti kuabadikan—Wahyu Gandi G

Makassar 2015