Kamis, 10 September 2015

Lipstik yang Merah, Tanda Kemunafikan?

"Lipstikmu terlalu menor nak, nanti kau disangka penjajah kelamin. Bedakmu terlalu putih dik, sudah begitu, tebal lagi, nanti kau disangka perempuan penunggu duka, makanya kau lapisi sungai air matamu dengan bedak itu”.

Nampak dari kejauhan, dari tempatku menuntut ilmu di sebuah Universitas Negeri di Ibu Kota. Saya menyaksikan berbagai fenomena alam dan manusianya. Saya tak terlalu tertarik terhadap pergerakan alamiah, biarkan saja mereka bermain. Saya lebih menyukai kepada hal yang bernuasa sosial-masyarakat. Beberapa buku-buku yang berisikan informasi ketangguhan bangsa Indonesia dalam merembut tanah pertiwi ini misalnya, sudah kubaca, menjadi pengetahuan yang layak kubuktikan “sendiri”, dengan mencari makam serta jejak-jejak sejarah yang masih hidup hingga sekarang ini. Yang menjadi perhatian saya pertama yaitu muasal dari bendera itu sendiri.

Bagaimana kongkrit yang sebenarnya, penentuan warna merah dan putih menjadi dua warna identitas bendera Negara Indonesia? Mengapa tidak menggunakan warna pelangi selepas mendung dan hujan saja, biar tetap dikatakan, disaksikan dengan sebutan indah. Apalagi, jarang ada manusia yang tak menyukai pelangi, namun juga jarang manusia mengetahui mengapa bisa pelangi dapat seperti itu, iyakan? Walau sebenarnya, pelangi tak selamanya indah jika dipandang. Bagaimana dengan orang buta?

Indonesia, merah darahku, putih tulangku bersatu dalam semangatku..Ada yang masih ingat lagu itu? Lagu yang sangat identik dengan Indonesia. Hampir seluruh lirik mencerminkan realitas Indonesia, latar belakang perjuangan Indonesia mewujudkan kemerdekaan, serta wajah Indonesia dimata rakyat serta yang pernah dicitakan oleh beberapa tokoh di Indonesia. Sebuah lagu yang berlabel kenangan dan ada juga yang mengatakan nasional. Ciptaan seniman/musisi lawas kelahiran Jombang, Gombloh, bernama asli (Soedjarwoto Soemarsono); kebyar-kebyar (1979).

Lupakan dulu sejenak tentang dunia hiburan, sejenak saja. Saya mencoba ingin membuat agar Indonesia melihat wajah aslinya selepas bangun tidur. Sisa-sisa bekas pesta semalam (ada yang narkoba, miras, bikini dsb) sedikit menjadi kebiasaan buruknya di sebuah hari yang mungkin masih ranum buat dipetik, apalagi sekedar dicolek. Pertama kali saya melihat Indonesia, kepalaku langsung mengingatnya saat tubuhku masih bersekolah di sekolah dasar beberapa tahun silam, simpelnya karena saya masih anak-anak, Indonesia kulihat ketika mengikuti upacara di lapangan setiap hari senin; berangkat karena saya sering menjadi pemimpin upacara. Kedua kalinya saya melihat Indonesia, dari seragam sekolah saya, saat di kelas, diwaktu istirahat (jika malas melakukan sesuatu seperti membaca, menulis atau menghapal) saya bersama teman-teman bermain jungkir balik dan berdiri sandar dalam tembok kelas dengan posisi kepala di bawah-kaki di bagian atas, siapa yang paling lama bertahan, dialah pemenangnya. Itulah Indonesia.

Awalnya memang terlihat tak cukup baik, saat saya masih tak berani sedetik pun melihat atau sekedar meratapi hal-hal yang terjadi di surga Negara, dengan para malaikat berdasinya (katanya penolong rakyat dari gerbang neraka dunia). Saya mengetahui tak cukup baik dari perbincangan hangat para orangtua diwaktu yang senggang, minum secangkir teh hangat, di sebuah beranda rumah yang biasa orang bugis sebut dengan sebutan lego. Saya juga tidak terlalu menyukai pelajara PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Wajah Negara kita katanya setiap beberapa tahun selalu berubah dan berkamuflase menjadi bukan Indonesia. Pura-pura lupa dengan latar belakang perjuangan beberapa tahun silam, bergerak menjadi bagian dari perilaku-perilaku kapital, harmonisasi lembaga-lembaga vital sudah sedikit melenceng dari asas-asas yang pernah dikemukakan tokoh-tokoh perintis kemerdekaan, keadaan ekonomi yang kadang menjadi “musuh” rakyak sendiri, karakter bangsa (masyarakat) sudah teracuni berbagai paradigm baru dunia, yang sebenarnya melenceng dari ajaran adat-adat Indonesia tempo dulu. Dan masih banyak lagi.

Apa kejadian-kejadian ‘rutin’ itu tak membuat Indonesia merasa ‘sakit’ dan merasa ingin dirawat sebuah tempat bersingkatkan RS (Rumah Sejahtera). Jika Indonesia itu ibarat manusia, saya dapat dengan lihai mengatakan bahwa Indonesia telah cacat, dan berjalan dengan bantuan kursi roda (kursi roda itu ibarat Negara-negara yang menjadi dalang dari Indonesia) yang bahkan hampir menemukan titik kelumpuhannya. Untuk mengendalikan dirinya sendiri pun rasa-rasanya sulit, tidak heran, merangkak pun bisa jadi opsi terakhir, walau yang berjalan itu masih tetap memaksa untuk tetap selalu merangkak.

Apa Indonesia katarak? Mungkin perlu sebuah kacamata, agar dapat dengan mudah menyaksikan sendiri tubuhnya. Atau, ia (Indonesia) bukan lagi Indonesia? Sudah jelas ia sakit, tetap saja mengatakan badannya sehat.

Permasalahan kian memperumit masalah yang sudah terlanjur basah dengan matahari pagi, malam yang dianggap indah sekarang sudah berubah, menjelma menjadi jahat, hari yang dianggap sebagai semburat aman juga tak kalah jahatnya, sebagian besar masyarakat sungguh tersiksa dengan kedua waktu itu. Kemana lagi mesti pergi? Apa harus menanti dini hari, petang atau mungkin fajar? Kita sudah tahu, ketiga waktu itu sesungguhnya amat sangat singkat untuk sebuah kehidupan.

Seperti di kehidupan liar yang malam, tempat-tempat yang mengadakan pendidikan prostitusi yang secara legal. Dunia malam memang cukup menggiurkan bagi mereka-mereka yang lupa tentang pemenuhan kebutuhan yang semestinya. Kita dapat melihat, hampir semua pelacur menggunakan pewarna bibir yang dominan merah. Lalu bedak yang masuk dalam kategori mahal, (Walau sebenarnya tak menutup kemungkinan itu termasuk kedalam kosmetik racikan yang berbahaya) untuk mempercantik kewanitaannya, lebih tepatnya memutihkannya. Saya dapat mengatakannya bahwa, orang-orang yang di sana terkadang merasa bosan bertengger di surganya dengan segala gelimangan yang bukan sepenuhnya menjadi haknya, pasti akan selalu mempunyai waktu mengunjungi dunia malam itu. Mereduksi sedikit dosa yang mereka lakukan di tempat kerjanya, mungkin. Layaknya bibir yang bercorak merah, sepantasnya dapat lebih mudah buat mencium hal-hal (berbau munafik), yang tentunya memiliki bekas yang sangat jelas.

Warna merah-putih bendera Indonesia--dengan warna merah lipstik dan putih dari bedak penjajah kelamin. Warna merah melambangkan keberanian, putih menyimbolkan sebuah kesucian. Bagaimana bisa kedua hal itu selaras dan membangun korelasi yang baik jika yang terjadi selalu kontra dengan harapan rakyat.

Demikian hal yang kian menjadi sorotan publik, memang kita gamang dengan berita yang sering terjadi di layar kaca. Mereka yang menjelma sebagai media juga mengemas bahan informasi secara tak sama. Maksudnya, bentuk penyampaian kepada para pemirsanya di seluruh penjuru Indonesia masih saja terkesan “politis”. Masalah ini memang dapat dikatakan baru, atau mungkin sudah lama, hanya karena baru terungkap.

Kesesuaian dari penyikap sebuah studi kasus tentang peran penjajah kelamin dalam bekerja, memenuhi hidupnya tak jauh berbeda dengan para pelaku korupsi yang katanya ingin mengindonesiakan Indonesia justru membuatnya semakin terpuruk. Pelacur ibarat pejabat, dan pelanggannya ibarat rakyat. Jika rakyat tak pandai-pandai memilah pejabat (pelanggan dalam hal ini memilah pelacur), maka rakyat itu sendiri yang akan di rugikan. Terlepas mungkin dari ego pribadi (pelacur/pejabat) itu sendiri.

Makassar 2015

0 komentar:

Posting Komentar